Analisa Masalah Pendidikan Pasca Otonomi Daerah


 

           Memasuki milenium ketiga lebih khusus lagi menghadapi era global 2003, semua elemen bangsa mengkonsentrasikan perannya pada pembinaan dan pendidikan SDM secara lebih akseleratif. Harapannya dengan tersedianya SDM unggul bangsa ini bisa lebih maju, berkembang dan berperadaban yang mulia. SDM yang ada sekarang mestinya jauh lebih baik daripada dulu. Karena saat ini hampir semua kebutuhan ada. Makanan bergizi, peralatan canggih dan mutakhir, internet misalnya, bisa di dapat dengan mudah . Sangat jauh kalau dibandingkan dengan dulu. Tapi mengapa SDM sekarang etos kerjanya, moralnya merosot, kebersamaannya dan tanggung jawabnya luntur ?
Solusinya, pendidikan harus ditangani secara serius agar diperoleh hasil yang maksimal.  Tak lama lagi pada tahun 2003, Indonesia akan diserbu tenaga-tenaga ahli dari luar negri yang mungkin lebih berkualitas, misalnya tenaga kesehatan dari Philipina yang mulai 6 tahun lalu sudah belajar bahasa Indonesia.
Sesuai dengan yang telah saya baca dalam guntingan berita di halaman depan, ‘Pendidikan di era otonomi daerah nasibnya jauh berbeda dengan bidang-bidang lain. Permasalahannya sama, tidak ada kejelasan acuan dari pusat hingga daerah. Terlebih, Kanwil Diknas dan Mendiknas yang selama ini mengurusi masalah pendidikan di daerah tidak lagi banyak ikut campur. Daerah pun kebingungan mencari legalitas untuk acuan pendidikan, akibatnya berbagai masalah muncul’. Permasalahan itu terjadi tidak hanya di Malang, di kota-kota lain saya kira masih mempunyai persoalan yang sama rumitnya. Bukan saja masalah yang timbul akibat otonomi daerah tetapi masalah-masalah lain masih perlu mendapatkan perhatian. Mulai dari masalah perijinan mendirikan lembaga pendidikan yang terkesan berbelit-belit, masih kurangnya faktor penunjang pandidikan, sampai tidak adanya standarisasi pendidikan. Belum lagi masalah Guru Tidak Tetap (GTT).
            Otonomi daerah sebenarnya adalah solusi yang tepat untuk mengatasi indoktrinasi kepada masyarakat selama masa orde baru (32 tahun). Pada masa itu tanpa disadari intervensi rezim orde baru dalam pendidikan nasional itu sampai pada persoalan individu, sehingga warga negara secara pribadi tidak memiliki privacy lagi dalam kehidupan. Penyeragaman yang telah dilakukan orde baru tidak hanya secara fisik, tapi sampai pada pola berpikir, sikap dan cara bertindak tiap siswa. Penyeragaman itu dilakukan melalui sentralisasi kurikulum, pembakuan metode mengajar dan alat tes sampai dengan penentuan kriteria kenaikan/kelulusan siswa. Materi kurikulum pendidikan nasional dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) hingga tingkat SMTA (sekarang SMU). Bahkan perguruan tinggi dari Sabang sampai Merauke dibuat seragam, tanpa melihat karakteristik pada setiap daerah. Padahal tiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda baik menyangkut potensi-potensi alam, potensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan infrastruktur. Penyeragaman tersebut mengakibatkan terjadinya ketimpangan kualitas antara desa-kota, Jawa-Luar Jawa, Siswa kaya-siswa miskin dan lain sebagainya.
            Kurikulum itu menjauhkan siswa dari lingkungan sekitarnya. Mereka belajar matematika secara rumit tetapi apa yang mereka pelajari, berbeda jauh dengan kehidupan mereka sehari-hari. Misalnya seorang petani yang seharusnya diberi pengetahuan tentang cara bercocok tanam dan mengetahui berbagai macam jenis padi lokal atau jenis tanaman lain. Atau seorang nelayan yang seharusnya belajar bagaimana mengetahui ilmu bintang yang menandakan ada atau tidaknya ikan di laut. Tetapi sesuai kurikulum saat itu, mereka diajari tentang administrasi perkantoran, pembukuan, tetapi tidak tersedia pekerjaan di kantoran untuk mereka.
             Kritik yang sangat tajam terhadap kurikulum pendidikan nasional adalah bahwa kurikulum tersebut terlalu sentralistik dan Jawasentris. Ternyata kurikulum seperti itu telah terbukti gagal karena tidak mmapu menciptakan manusia secara individu maupun bangsa yang mandiri. Oleh sebab itu, kurikulum sekarang disusun berdasarkan desentralisasi atau otonomi daerah.
             Pendidikan sekolah itu membekali si pelajar dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan. Oleh sebab itu penyusunan kurikulum mempertimbangkan segala potensi alam, Sumber Daya Manusia (SDM), maupun sarana dan prasarana yang ada pada setiap daerah.
             Beberapa jenis pelajaran seperti PPKN (Pendidikan Moral), Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika dan Biologi untuk SLTP. Atau Kimia, Sosiologi Antropologi untuk SMTA, mungkin masih cocok dibuat secara nasional guna mencapai standarisasi mutu pendidikan, sedangkan selebihnya diserahkan masing-masing daerah agar lebih beragam dan membumi.
             Pada dasarnya kurikulum 1994 telah mulai memperkenalkan semangat desentralisasi melalui materi muatan lokal. Namun karena pelaksanaannya berdasarkan petunjuk pelaksanaan tingkat KANWIL P & K, akhirnya yang terjadi tetap penyeragaman dalam tingkat daerah. Dan dalam prakteknya materi ini tumpang tindih dengan materi kerajinan tangan dan kesenian. Sehingga otonomi daerah baru bisa dilaksanakan pada 1 Januari 2001.
             Untuk sekedar diketahui, di Jepang pada masa tahun 1937-1945 ada sebuah sekolah yang setara dengan Sekolah Dasar. Sekolah itu dinamakan Tomoe didirikan oleh Sosaku Kobayashi. Sekolah ini unik, bukan saja karena ruang sekolahnya yang memfungsikan gerbong kereta api yang sudah lama menjadi kelas-kelas, tetapi karena sistem pendidikan yang diberikan oleh bapak Kobayashi itulah yang istimewa. Penyampaiannya sangat menarik dan bahkan dinilai nyeleneh saat itu. Perbedaan-perbedaan Tomoe dengan sekolah lain yaitu:
¨                  Siswa diperbolehkan memulai pelajaran dengan materi yang mereka sukai dulu. Misalnya; ada yang senang berhitung memulai dengan berhitung, yang suka kesenian memulai dengan pelajaran seni, dsb. Sehingga dalam kelas tiap hari mereka melakukan kegiatan yang berbeda.
¨                  Siswa diharapkan memakai baju sehari-hari (bukan baju yang bagus). Kebijaksanaan Pak Kobayashi ini dikarenakan anak didiknya yang bebas bermain sehingga membuat baju yang mereka kenakan kotor atau robek.
¨                  Saat makan siangpun diajarkan kebersamaan dan kesederhanaan yang diterapkan kepada mereka yaitu tidak perlu membawa bekal makan siang yang mewah. Cukup membawa yang dari laut (protein) dan dari gunung (vitamin atau karbohidrat). Kreativitas itu yang menarik bagi siswa.
¨                  Tanggung jawab yang diberikan dan bukan larangan. Misalnya saat salah seorang siswa (penulis buku Totto Chan, Tetsuka Kuroyanagi) sedang mengambil dompetnya yang terjatuh di pembuangan atau septic tank. Komentar Pak Kobayashi hanya minta tolong untuk dikembalikan seperti semula.
           Memang untuk mewujudkan sekolah seperti Tomoe ini diperlukan suatu kreatifitas dari guru. Pak Kobayashi punya otonomi atas sekolah yang ia dirikan. Ia memang seorang pendidik sejati. Tapi sayang impian Pak Kobayashi hancur seiring dengan pengeboman pada perang tahun 1945. Tomoe hancur. Mungkin di Indonesia penerapan sekolah seperti ini tidak bisa diterima.
           Kembali lagi pada masalah-masalah yang ditimbulkan adanya otonomi daerah seperti yang dialami salah satu lembaga pendidikan profesi di Malang, SOB. Mereka mengaku kesulitan jika akan membuka program study baru. Yang terjadi ketika mereka meminta ijin, seolah mereka di lempar-lemparkan. Saat itu mereka mengajukan ke KANWIL DIKNAS JATIM tetapi alasannya DIKNAS JATIM tidak bisa mencampuri urusan daerah sejak saat Otonomi Daerah diberlakukan. Hal yang sama terjadi saat mengurus perijinan ke Diknas kota Malang. Ironisnya ketika semua jalan tertutup, SOB disarankan ke Dinas Perizinan. Sepertinya ijin Lembaga Pendidikan diperlakukan sama dengan perusahaan yang mengajukan ijin HO atau IMB. Dan dengan diberlakukannya PERDA Pendidikan diharapkan akan dapat mempertegas aturan-aturan pendidikan di tiap daerah. Sehingga para peserta didik, akan lebih berguna bagi daerahnya dan dapat memajukan daerahnya sehingga nantinya dapat sejajar dengan daerah-daerah lain yang lebih maju.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar