Ulasan Istimewa Tentang Kontes Istimewa di Daerah Istimewa
Oleh: Tia Sulaksono
Menempuh jarak bermil-mil jauhnya. Meninggalkan sesuatu yang sangat kita cintai di rumah. Merelakan kehangatan dan kenyamanan tempat tinggal dan menukarnya dengan kepenatan hanya untuk sebuah prestige, menjadi saksi kemegahan kontes bertajuk Piala Raja. Piala dari orang yang menjadi junjungan rakyat Jawa. Saya berangkat berbekal mimpi.
Setelah melewatkan kontes serama berkelas internasional gelaran Seramadura di Sumenep Madura yang cukup profesional dan sangat terkonsep, bayangan saya kontes besar lain minimal akan sama seperti itu. Persiapan yang matang, juri yang profesional dan obyektif, pelayanan yang cepat, panitia yang cukup ramah menerima siapa saja, tempat yang nyaman (tidak panas dan penerangan yang cukup), dan tentu saja sedikit kenang-kenangan sebagai reward buat peserta. Mungkin hal-hal seperti itulah yang diharapkan semua peserta yang sudah menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan tentu saja uang. Syukur-syukur di bubuhi sesuatu yang sedikit lux seperti dekorasi ruangan atau seremonial yang khidmat. Kembali terkenang kontes persahabatan Malaysia dan Indonesia di Sumenep. Openingnya begitu khidmat mengharukan dengan diperdengarkannya dua lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Negaraku. Bahkan setiap saatnya membuat hadirin merinding melihat anak-anak kecil memainkan gamelan tradisional khas Madura.
Memasuki gedung Sasono Hinggil Dwi Abad, perasaan bangga datang. Di tempat ‘sakral’ inilah kontes besar akan diadakan. Gedung berusia 56 tahun ini dulu digunakan Sultan menyaksikan gladi bersih upacara Garebeg dan sebagai lokasi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sultan juga menggunakan tempat ini untuk menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Mungkin seperti kita sekarang menyaksikan para klangenan kita, serama, beradu kecantikan. Maka, tak salah kalau tajuk Piala Raja dan iming-iming tempat yang penuh historis filosofis, Sasono Hinggil Dwi Abad, begitu menghipnotis seramania seluruh tanah air.
Menjelang pembukaan, mars Jogja Istimewa diperdengarkan. Lagu Jogja Istimewa yang gegap gempita bukan saja membuat jantung kita berdetak oleh alunan musik bergaya hip hop rap garapan Kill The DJ & Balance. Beberapa orang yang merasa ‘Jogjais’ ikut berjoget dan berdendang mengumandangkan lirik Holopis Kuntul Baris yang menyiratkan semangat persatuan. Tetapi bukan hanya itu yang membuat kita merasa istimewa di tempat se-istimewa itu. Seperti kita ketahui, lagu ini walau memiliki sentuhan modern namun 70% lirik dalam Jogja Istimewa mengambil kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh tokoh-tokoh sebesar Soekarno, Sultan HB IX, Ki Hadjar Dewantoro, RM Sosrokartono, dan beberapa yang lain. Inilah cuplikan liriknya:
Holopis kuntul baris holopis kuntul baris
Jogja Jogja tetap istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia
Rungokno iki gatra seko Ngayogyakarta
Negeri paling penak rasane koyo swargo
Ora peduli dunyo dadi neroko
Ning kene tansah edi peni lan mardiko
Lirik yang filosofis tersebut menggambarkan betapa orang Jogja yang menjunjung tinggi kerjasama layaknya burung kuntul yang berbaris beriringan tanpa peduli harta dan keduniawian, rakyat Jogja senantiasa hidup sederhana dan merasakan indah dalam kesederhanaan. Low profile. Itulah yang tergambar singkat dari lirik tersebut. Dengan menjadikan lagu Jogja Istimewa sebagai opening sekaligus backsound atau pengiring serama yang berlaga, kesimpulan saya betapa indahnya kontes ini. Dalam benak saya, konsepnya pasti berpegang pada filosofi dalam lagu tersebut.
Hemm...indah pada awalnya, belum tentu indah pada akhirnya. Manusia tetaplah manusia yang tercipta lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kalau lebih terus bukanlah manusia namanya tetapi malaikat, begitulah alibi yang sering diungkapkan. Entah siapa yang menyediakan kayu atau siapa yang menyulut korek api, namun dari keseluruhan kesimpulan yang dapat diambil adalah kekurang se-padu-an panitia, kalau tak boleh dikatakan kurang kompak disebabkan beberapa hal yang hanya panitia lah yang tahu.
Saya hanya menampung beberapa kalimat yang entah secara sengaja atau tidak diperdengarkan kepada saya. Bukan untuk menghujat dan mencela namun lebih sekedar mengingatkan karena kedekatan pribadi saya terhadap beberapa panitia yang bersangkutan. Untuk itulah saya tulis ini dengan usaha yang penuh obyektifitas menyingkirkan pandangan pribadi, berharap kelak kontes-kontes yang diselenggarakan tak akan menghasilkan kekecewaan terhadap peserta.
Pertama yang paling disorot orang adalah turunnya salah satu nama ayam di kelas yang sama. Sebut saja si A (bukan kapasitas saya untuk menyiarkan nama). Saya sendiri sebenarnya tak berani berkomentar tentang diperbolehkan atau tidak hal tersebut. Dari sebuah sumber terungkap bahwa dahulu ada istilah restart dalam kontes di Malaysia. Namun pokok yang memperbolehkan restart sendiri juga belumlah jelas. Bahkan kemungkinan besar restart sudah tak dilegalkan lagi dalam kontes kecantikan serama. Namun begitu, peraturan yang seperti apa lagi yang melegalkan seekor serama bisa dengan mudah turun dalam satu kelas yang sama dalam satu tajuk kontes yang sama pula? Seandainya ada pun, tata cara tersebut belum pernah diperdengarkan pada awal kontes sebagai peraturan. Seharusnya kalau panitia tidak ingin dikatakan wanprestasi maka dari awal peraturan tersebut diumumkan lengkap dengan syarat dan kondisinya.
Kembali lagi tentang restart, di Malaysia konsep ini diperbolehkan jika terjadi kesalahan. Kemungkinan restart atau ayam berhak turun lagi dalam satu kelas tanpa perlu melalui proses registrasi dan grading lagi, bisa dilegalkan jika terjadi kesalahan mutlak pada panitia atau juri yang bertindak. Kesalahan itu tentu saja harus kesalahan fatal sehingga khalayak bisa menerima dan bukan kesalahan yang subyektif. Pandangan saya pribadi, jika seekor ayam masih terganggu dengan kondisi lapangan seperti suasana bising, lawan yang agresif, ruangan tak nyaman atau hal-hal yang lain, berarti ayam tersebut kurang siap atau sedang tidak siap untuk kontes. Di sinilah seharusnya ketangguhan mental ayam diuji. Namun sebaiknya peraturan restart tidak dipergunakan jika seramania Indonesia belum benar-benar siap.
Hal kedua tentu saja tentang juri. Kontes besar tentu saja melibatkan hal-hal besar dan profesional. Bayangan saya adalah juri-juri mumpuni yang sudah ‘nglonthok’ (jawa:hafal di luar kepala) tentang ayam yang didudukkan di kursi panas. Sayang sekali saya tak menjumpainya. Bahkan ke-obyektifan juri pun sering dipertanyakan sepanjang jalannya kontes. Mampukah juri tersebut mengemban amanah yang begitu tinggi dengan mengesampingkan nama-nama besar? Satu hal yang sempat di ‘buka’ adalah tentang pemberian point dalam aksesoris ayam. Menurut beberapa peserta, ayam yang seharusnya memiliki point tertinggi pada aksesoris malah kalah sama ayam yang biasa dalam sudut pandang kriteria umum serama ideal.
Serama yang lompat atau turun meja dikarenakan oleh keinginan sendiri biasanya ayam tersebut tak berkehendak untuk begaye. Jika tak berkehendak seperti yang sudah-sudah, dari body, ayam tersebut kurang cantik atau dalam penalarannya tidak tarik, tak selam, tak lonjak dada. Dan kemungkinan sang ayam malah sibuk mencari jalan keluar untuk turun yang juga menyebabkan badan serama membungkuk. Jika ada ayam yang lompat meja bisa juara dapat dipastikan ayam tersebut cantik luar biasa seperti malaikat. Ini sekilas percakapan saya dengan seorang pakar dari negeri asal serama:
tq..satu ptanyaan yang bagus untuk meluaskan pengalaman umum mengenai serama. Markah penuh gaya ayam di atas meja ialah 25%. Sekiranya ayam yg dpertandingkan berada di atas meja dgn masa yag ditetapkan 1 minit 15 saat didapati memperoleh markah gaya sbanyak 22% dan ayam tersebut lompat meja 1 kali. Maka ayam tersebut dipotong gayanya menjadi 21%. Jika 2 kali lompat markah gaya menjadi 20%. Begitulah seterusnya sehingga masa 1 minit 15 saat tamat. Untuk makluman kawan-kawan, ayam yang cantik tidak akan lompat meja dan jika ada yang lompat meja tidak bisa jadi juara kontes. Kalau ada mesti something wrong between juri dgn penganjur atau dgn peserta ayam.... Sekian, terima kasih sekali lagi.
Konstanitas gaya dalam serama sebenarnya juga sering dibahas setelah kontes usai. Misalnya ada ayam yang bergaya tarik selam namun lepas pada saat tertentu dan ayam yang konstan bergaya namun tak tarik selam, manakan yang memiliki gaya tertinggi? Sampai dengan saat ini saya belum mendapatkan jawaban pasti. Di setiap kontes baik juri yang sama atau berbeda, tetap saja menyisakan pertanyaan sama. Kadang ayam konstan tanpa jerkslam-lah yang menang. Kadang ayam jerkslam tak aktraktif, atau bahkan kadang ayam jerkslam yang tak konstan. Namun, sekali lagi ini hanya ulasan dari kacamata pengamat yang hadir saat itu. Dan saya pribadi hanya merangkumnya menjadi sebuah tulisan yang layak dibantah jika ada kekeliruan.
Kekecewaan sebagian peserta adalah sebuah kewajaran. Harapan yang di angkat tinggi-tinggi tak terwujudkan. Tak sedikit dari mereka yang mengungkapkan keluhan dalam berbagai bahasa dan kiasan di sebuah situs jejaring sosial. Sebuah bukti otentik di ungkapkan oleh salah seorang peserta tentang bentuk kekhilafan dari seorang out of track crew (kalau tak boleh di sebut oknum). Bukti tersebut berupa rekapan nilai juri yang ditempelkan di papan notification. Pada satu kelas, terdapat beberapa coretan di nomor urut 1,2 dan 3 tanpa tanda tangan. Berdasar pengalaman saya, juri selalu membubuhkan sign atau paraf sebagai bukti pertanggungjawaban setelah mengganti nilai yang sudah ditulis di form.
Inilah yang banyak dipertanyakan seramania
Kekhilafan lain yang diungkap adalah dalam hal penjumlahan nilai yang menyebabkan kekeliruan penganugerahan gelar juara. Penjumlahan nilai sangatlah riskan. Kesalahan menjumlah, menulis nomor urut peserta, menulis nama peserta atau pemilik dan kesalahan menulis angka nilai walau cuma 0.5 point adalah hal-hal yang tak boleh dianggap remeh dan bisa banyak mempengaruhi pemberian gelar juara yang tentu saja sangat sensitif hingga menyebabkan kericuhan dalam kontes. Paling tidak masalah-masalah itulah yang saya pegang selama pengalaman pribadi saya sebagai rekaper kontes serama. Di bawah ini contoh rekapan yang masuk dan dihitung oleh komputer sehingga keakurasian dan kecepatannya sebesar 98%. Dalam hitungan saya, satu nomor hanya memerlukan waktu kurang lebih 25 detik untuk input nilai berikut data peserta (nama ayam, nama pemilik dan alamat) sekaligus meneliti ulang. Jika peserta sebanyak 30 ekor, tinggal dikalikan saja. 30 ekor kali 25 detik sama dengan 750 detik atau setara dengan 12 menit 5 detik. Itu perkiraan waktu terlama saya. Hasilnya setelah di sort descending akan langsung tampak secara urut dari nilai tertinggi sampai terendah. Bandingkan jika kita harus menghitung satu per satu secara manual dan mencari siapa pemegang nilai tertinggi.
Contoh Hasil Rekapan Komputer
Hal lain yang saya lihat dengan mata kepala sendiri adalah pengkategorian ayam yang tak sesuai dengan kelas. Misalnya ayam yang selayaknya masuk kelas B atau bahkan mungkin A, di grading di kelas C. Penentuan kelas ini juga terkadang menyebabkan kericuhan walau kita di jamin dengan kolom ciri-ciri. Kolom ciri-ciri ini sebenarnya juga beresiko menjadi biang kericuhan dalam kontes. Kita sendiri juga harus menyadari kekurang mahiran seseorang dalam menganalisa anatomi ayam. Bahkan beberapa teori juga terpatahkan oleh kelebihan ayam itu sendiri. Ada yang dari kecil sudah pandai berkokok istilah Jawanya brai kluruk, atau tumbuh lawi dulu, atau juga besar jenggernya. Hal-hal yang di luar kendali manusia memang susah ditentukan patokannya secara matematis. Maka wajarlah jika dalam kolom ciri-ciri selalu menimbulkan berbagai pertanyaan. Ada ayam yang benar-benar masih remaja, dimasukkan remaja malah diberi nilai 3 dalam kolom ciri-ciri. Ada juga ayam yang lintas kelas ke yang lebih tinggi, seharusnya masih remaja tapi dimasukkan jantan muda. Ciri-ciri juga dipotong.
Biarlah semua berjalan apa adanya. Yang layak menang biarlah jadi pemenang. Tak peduli sang pemilik adalah panitia, sang kharismatik, kaum selebritis, seorang yang vokal, seramania lama yang diistilahkan dengan ‘orang itu-itu saja’ atau juri sekalipun. Yang dinilai adalah kecantikan sang ayam bukan kecantikan sang pemilik. Bukan hanya karena ingin mengakomodir hobiis baru lalu menutup obyektivitas diri para juri. Ada cara lain yang lebih ‘seramawi’ (bukan manusiawi) yang dapat membuat hobiis baru tak lari yaitu tidak mempertahankan sesuatu menjadi kemonotonan. Terutama godaan klangenan lain mulai ditiupkan ke bara panas. Tentu tak lama lagi kita akan benar-benar berpisah dengan hingar-bingar kontes serama beralih ke riuhnya kepak sayap merpati. Biarlah semua berjalan pada track-nya. Ini hanya hobi. Untuk bersenang-senang di sela kepenatan rutinitas kerja. Sekali lagi hanya hobi bukan untuk melahirkan pendosa-pendosa baru yang sibuk mencari kesalahan orang lain dan selalu menyangkal kebenaran entah demi apa.
Elingo kabare Sri Sultan Hamengku Buwono Kaping IX, Sakduwur-duwure sinau kudune dhewe tetep wong Jowo, Diumpamake kacang kang ora ninggalke lanjaran, marang bumi sing nglairake dewe tansah kelingan (petikan lagu Jogja Istimewa). Orang Jogja yang santun, andap asor, berbudi pekerti luhur, selalu tenang dalam menghadapi masalah, adalah gambaran saya saat menghayati lirik demi lirik Jogja Istimewa. Kekagetan saya ketika seorang peserta mengeluhkan perilaku (sekali lagi) oknum panitia yang khilaf tak mampu mengendalikan telunjuk tangannya hanyalah kekagetan sesaat. Selanjutnya saya sadar bahwa no body’s perfect, no serama style’s immortal. Marilah kita sama-sama mengkoreksi diri sendiri. Semoga kelak kesalahan dan kekhilafan yang telah kita jalani ataupun kita lihat dapat di minimalisir sampai titik 0,1.
Perjalanan saya ke Jogja menghayalkan penuh bahwa mata saya siap untuk menyaksikan luxurious-nya sebuah gelaran. Bertemu dengan Sri Palas yang di agungkan ber-minggu-minggu di media. Melihat Sri Kenyir, sang penantang yang suka berjalan ‘pongah’. Mendokumentasikan aksi eksklusif Tsunami yang hanya dapat kita saksikan di tempat-tempat tertentu seperti Jogja. Itulah kebanggaan seramania yang memenuhi gedung bersejarah Sasono Hinggil Dwi Abad. Walau beberapa cacat menghiasi dengan berani saat nama besar sang Junjungan rakyat dipertaruhkan. Satu hal yang membuat saya bahagia adalah pertemuan saya dengan seramania dari hampir seluruh tanah air seperti dari Kudus, dari Palembang, teman lama dari Jakarta, dari Madura dan tempat-tempat lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Perjalanan saya ke Jogja, menyisakan sebuah kenangan dan pelajaran yang sangat berharga akan persaudaraan, kejujuran dan prestasi sebenarnya.
Holopis Kuntul Baris....mari bergandeng tangan, bersatu padu, bukan untuk serama, bukan untuk sebuah keramaian, bukan untuk apa-apa...cukup hanya demi persaudaraan sejati.
0 komentar:
Posting Komentar