Setinggi-tinggi wanita Indonesia mengenyam pendidikan akhirnya menuju dapur juga. Walau bagaimanapun dia berusaha menggapai pendidikan tertinggi, seorang wanita tidak akan bisa lari dari kodratnya sebagai ibu rumah tangga. Kegiatan mengurus suami, anak dan segala hal yang berhubungan dengan dapur dan kamar tidur adalah ruang lingkup kehidupan wanita. Dari beberapa perempuan yang dilahirkan ke dunia, hanya satu dibanding seribu yang tidak mematuhi kodrat seperti itu. Jikalau mereka menentang takdir yang sudah digariskan tersebut, ia mengingkari existensinya sebagai seorang wanita. Dengan demikian faham feminisme dan emansipasi perlu dipertanyakan.
Dalam beberapa masa terakhir ini, tidak sedikit wanita yang berhasil menempuh jenjang pendidikan paling tinggi, tidak kalah dengan pria. Dibalik itu semua, wanita terutama wanita timur, masih mempunyai kewajiban yang bertolak belakang dengan apa yang diraihnya selama ini. Dapur, adalah tujuan terakhir dari perjalanan panjang wanita.
Sering kita mengetahui atau mendengar lewat media massa tentang sepak terjang wanita. Beberapa dari mereka berhasil dalam pendidikan dan keriernya. Banyak yang bergelar doktor dibidangnya. Ada pula yang tak puas-puasnya sekolah seperti layaknya seorang kolektor gelar. Kalau kita menuliskan namanya, kita akan kebingungan sendiri meletakkan gelar dibelakangnya. Tetapi itulah wanita. Rentetan gelar yang disandangnya tidak bisa memungkiri kodratnya sebagai ibu rumah tangga.
Wanita di kantor memegang kertas dan pulpen, di kampus pegangannya buku. Setiap orang menyapanya dengan hormat. Penampilannya selalu rapi dan wangi. Tetapi apa yang terjadi bila dia tiba di rumah? Dia adalah seorang istri dan seorang ibu yang tangannya selalu berbau bumbu. Itulah ruang lingkupnya sebagai perempuan; memasak, mengurus rumah tangga dan melayani suami. Tidak jauh dari dapur dan kamar tidur.
Memang ada beberapa manusia yang dari lahir tercetak sebagai wanita namun menolak ‘me-wanita-kan’ dirinya. Tetapi itu hanya satu berbanding seribu diantara sekian ratus juta populasi wanita di dunia. Mereka kebanyakan mengalami masalah psikologis seperti trauma yang berat, kelainan seks atau beberapa masalah kejiwaan lain.
Keputusan wanita untuk menjadi superordinat tidak bisa dijauhkan dari jiwa keibuannya. Seandainya mereka menentang takdir yang digariskan untuknya, berarti ia mengingkari existensinya sebagai wanita ¾ yang dilahirkan untuk hamil dan menyusui. Wanita dilahirkan untuk melahirkan.
‘Wanita’ itu bukan hanya status kelamin jika menuju toilet umum. Juga bukan sekedar alat atau pembeda yang melekat pada tubuh. Tetapi jauh lebih dalam dari pada itu adalah kodrat yang tidak bisa ditukarkan dengan lelaki. Label inferior yang melekat pada dirinya adalah suatu bentuk realitas yang sudah tergaris. Lalu apakah diantara sekian banyak wanita masih ada yang mengakui kalau dirinya adalah jiwa yang terjebak dalam tubuh yang anggun dan seksi? Dan enggan melumuri tangan halusnya dengan bumbu dapur? Lebih memilih duduk di belakang meja dan memperbudak lelaki? Kalau demikian faham feminisme dan emansipasi wajib ditinjau kembali.
SELAMAT HARI KARTINI
0 komentar:
Posting Komentar