Wanita memang identik dengan kecantikan. Kata-kata “Kaca di mana ya?” atau “Rasanya pengin ngaca terus deh”, hampir tidak pernah terdengar dari bibir lelaki. Wanita rela melakukan apa saja demi bisa dikatakan cantik. Meski kecantikan itu relatif, hampir di seluruh belahan bumi kaum perempuan masih menganut faham ‘kutilang putih’ sebagai kiblat. Namun demikian, suku Maori dan Mangbetu mementahkan faham ini. Dua suku tersebut memandang kecantikan bukan hanya sekedar kurus, tinggi, langsing, putih dan berambut indah. Suku Maori melihat kecantikan dari kekuatan wanita lewat tato. Suku Mangbetu mengakui kalau wanita yang berkepala lonjong itu cantik dan cerdas. Jadi wanita yang cantik adalah wanita yang memiliki segala kemampuan batiniah seperti yang dimiliki oleh Maori dan Mangbetu.
Wanita adalah simbol kecantikan. Setiap kita mengatakan cantik pasti pikiran kita tertuju pada sesosok tubuh yang anggun dan mempesona, tubuh yang dimiliki wanita. Daya pikat inilah yang membuat seluruh perhatian tertuju padanya, dari pakar mode sampai pakar bedah.
Kalau jaman dulu, dalam dongeng seorang nenek sihir selalu bertanya “Mirror, mirror on the wall, who’s the fairest one of all?” (Kaca, kaca di dinding, siapa menurutmu yang paling cantik di seluruh jagad raya?). Pada masa yang makin maju seperti sekarang, wanita masih bertanya tentang kaca. Kalimat “Kaca di mana sih?” atau “Rasanya pengin ngaca terus” pasti sering didengar terutama dari mulut perempuan. Jarang sekali pria mengucapkan kata-kata ‘ajaib’ tersebut. Jadi di sini, kaca berperan utama dalam kecantikan wanita. Setiap kali merasa ada yang salah dengan badannya, si perempuan selalu lari ke kaca. Kaca benar-benar dianggap sebagai sahabat sejatinya.
Banyak hal selalu dilakukan wanita agar dirinya terlihat cantik. Bermacam kegiatan dijalani dari memanjakan tubuh semacam relaksasi dengan aromatherapy atau bathing dengan lulur dan lumpur sampai hal-hal yang menyiksa tubuh seperti rebonding, waxing dan sedot lemak. Semua itu hanya demi kata ‘cantik’. Mereka tidak peduli seberapa mahal biaya yang dikeluarkan untuk ‘penyiksaan diri’. Bahkan banyak mata menyaksikan betapa tidak pedulinya ia kepada sakit yang dirasakan hanya untuk satu tujuan. Beberapa yang sedikit frustasi menempuh jalan akhir, yaitu pemakaian susuk agar selalu terlihat menawan. Bagi mereka yang takut pasang susuk akan melakukan operasi plastik menganggap hal itu sangat mengerikan.
Patokan kata cantik, dari seluruh permukaan bumi hampir sama, walau sebagian orang berpandangan kecantikan itu relatif, yang menurutmu cantik belum tentu sama dengan pendapatku. Cantik bagi kita dan mereka tetap seperti disebutkan di atas ¾ kutilang putih; yakni kurus, tinggi, langsing dan putih. Bagaimana kalau ada tambahan hidung mancung, rambut panjang nan indah dan mata lebar?, makin sempurnalah fisiknya. Belum lagi sudut pandang lelaki yang menambahkan ‘kutilang putih di dapur’, kurus tinggi langsing dada siap tempur. Perempuan yang tidak memiliki ciri-ciri tersebut akan merasa minder. Kutilang putih menjadi obsesi tersendiri di kalangan wanita.
Dari teori-teori kecantikan tersebut di atas ¾ yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengaku-ngaku pakar dalam melihat fisik wanita, kita akan melirik sudut pandang lain tentang makna cantik yang dipakai oleh suku Maori di New Zealand dan suku Mangbetu di Kongo. Dua suku tersebut secara tidak langsung mementahkan pendapat-pendapat yang sudah umum dan seperti label pada dunia kecantikan. Suku-suku di dua negara yang letaknya berjauhan tersebut, ternyata memiliki pandangan yang hampir sama.
Walau tidak terlepas dari usaha penyiksaan diri, dua suku tersebut melihat wanita bukanlah sekedar cantik dari fisik. Cantik yang benar-benar cantik. Mereka tidak menganut obsesi ‘kutilang putih’. Cantik bagi mereka adalah kekuatan dan kepandaian. Simak tuturan Anthea Paul dalam bukunya Girlosophy: A Soul Survival Kit, yang menyebutkan bahwa kecantikan yang sesungguhnya tidak selalu tampak pada pandangan sesaat, tetapi akan abadi. Kenyataanya bahwa kecantikan adalah karakteristik wanita dalam memadukan keindahan fisik, sikap dan kecerdasan (Brain, Beauty and Behavior).
Suku Maori mengenal budaya tato sebagai persiapan dalam bertempur. Tato, atau yang mereka sebut moko ini, sudah dikenal sejak 5000 tahun yang lalu. Wanita Maori membuat tato untuk menarik perhatian pria. Seorang gadis akan terlihat dewasa dan kuat jika di tubuhnya tergores tato. Bagian yang ditato umumnya di bibir dan dagu dengan warna biru (meski ada juga yang mentato tubuhnya). Mungkin akan sedikit sakit, tapi tanpa tato bisa diperkirakan sulit dapat jodoh. Dari rasa sakit itulah yang membuat kepercayaan suku Maori secara turun temurun menganggap siapa yang bisa melewati rasa sakit saat di tato, berarti mampu melewati kesulitan di medan perang. Semakin banyak tato ditubuhnya, semakin terlihat kuat dan semakin terlihat cantik.
Suku Mangbetu tetap mempercayai kalau wanita yang berkepala lonjong itu bukan hanya terlihat cantik, tapi juga cerdas. Seperti kita ketahui, kulit suku Mangbetu tidaklah seindah kulit orang Jepang. Orang-orang Mangbetu mempunyai kesamaan fisik dengan orang Irian di Indonesia. Untungnya mereka tidak mempedulikan kemolekan fisik semata. Proses pembuatan kepala hingga seperti itu tentu saja tidak bisa dilakukan setelah dewasa. Sejak usia masih bayi, kepala mereka dibebat kain berbentuk lonjong (headbinding). Semakin lonjong kepala perempuan Mangbetu, semakin tampak cerdas. Kecerdasan itu akan membiaskan kecantikan alami wanita-wanita suku tersebut.
Label cantik pada wanita menjadi suatu beban tersendiri, membuat wanita ingin tampil beda dan menawan. Berbagai cara ditempuhnya, mulai dari menyiksa diri sampai memanjakan diri. Kaca menjadi obyek tunggal sebagai alat untuk mencapai ukuran standart yang seolah sudah terpateri di mata kaum hawa. Dalam hal ini, suku Maori dan Mangbetu yang menjadi minoritas dalam hal kecantikan, secara tak langsung membantahnya. Kecantikan bagi mereka adalah kekuatan dan kepandaian. Wanita cantik bukan hanya wanita yang hanya bisa berlenggak-lenggok memamerkan tubuh, tetapi seorang yang bisa mengatasi segala masalah, wanita yang bisa membangun potensi diri. Tato dan Headbinding hanya sebuah alat untuk mengeksplorasi kecantikan. Kecantikan batiniah, itulah yang abadi. Akankah kita bisa merubah psinsip seperti dua suku tersebut?
Referensi:
Mudhi, Nggak selalu ‘Kutilang Putih, kok!, Rubrik Obrolan GADIS No. 25, terbitan 17-26 September 2002.
Novi, Kita Memang Cantik, Rubrik Psikologi GADIS No. 25, terbitan 17-26 September 2002.
1 komentar:
Terima kasih atas sharingnya Kak,
jadi nambah wawasan nih tentang dunia kecantikan.
Oya, disini juga ada yang bahas tentang Konsep Cantik Ala Suku-suku di Indonesia
semoga bermanfaat
Posting Komentar