ANTARA DESA DAN KOTA



ANTARA DESA DAN KOTA

Ada seseorang yang mengaku dari desa pernah mengatakan, “Anak-anak kota itu cerdas karena vitaminnya banyak.” SALAH. Saya katakan kalau itu pandangan yang keliru. Justru desalah sumber dari ‘kecerdasan’ itu sendiri. Di desalah makanan bernutrisi yang alami banyak kita dapatkan. Lalu apa yang membedakan masyarakat desa dan kota? Penggalian potensinya. Masyarakat kota sudah mulai sadar akan ‘pembunuh’ dalam selimut.
Sayur, yang selalu kita olah dan unggulkan sebagai super food, dapat menjadi sumber penghancur jika kita tak pandai memilahnnya. Sayur yang beredar di pasaran belum tentu aman untuk dikonsumsi karena kandungan pestisidanya. Pestisida tak akan hilang walau dipanaskan sekalipun. Pestisida akan terakumulasi dalam tubuh dan membentuk residu. Dengan memanaskan sayur secara berlebihan bukan sehat yang kita dapat sebaliknya kita kehilangan nutrisi yang berharga yang diperlukan oleh tubuh. Sampahlah yang masuk tubuh. Olahlah sayuran organik (yang dalam penanamannya tanpa tersentuh pupuk kimia dan pestisida).  Jika perlu dimasak, masaklah tak lebih dari dua menit agar kandungan vitaminnya tidak hilang. Jika suka, lebih baik lagi kalau di makan mentah. Menambahkan penyedap atau perasa buatan (produsen menyamarkan dengan perisa makanan) atau lebih populer dengan MSG (Monosodium Gluatamate), hanya akan mengumpulkan ‘pembunuh’.
Daging dan ikan, tak semua layak dikonsumsi. Banyak daging yang pakannya bukanlah pakan alami namun sudah melalui proses kimiawi. Belum lagi pengobatan untuk mencegah sakit yaitu antibiotik. Yang jahatnya melebihi virus itu sendiri jika salah dalam aplikasinya. Ikan memang sumber protein dan mineral paling bagus. Namun tak semua ikan hanya mengandung sumber nutrisi. Ada beberapa ikan menyertakan zat berbahaya dalam tubuhnya. Contohnya ikan yang hidup di laut atau sungai buangan limbah pabrik yang bisa sangat berbahaya bagi yang sensitif karena ikan-ikan itu banyak membawa pencemaran seperti logam berat atau PB.
Tak semua mampu memilih dan mengolah makanan dengan tepat. Vitamin pabrikan (bahasa saya untuk vitamin yang telah melalui proses kimia) bukan jawaban yang jitu atas semua pertanyaan tentang gizi. Kita kadang terbuai dengan kepraktisan. Berlomba dengan waktu menuntut kita untuk mengubah lifestyle dan semakin menjauh dari alam. Tak ada waktu untuk memasak bukanlah alasan untuk mengesampingkan keamanan makanan. Jika tak ada waktu untuk memasak kita bisa mengkonsumsi sesuatu yang sehat untuk kita makan tanpa memerlukan waktu lama. Kita bisa membiasakan diri dengan raw food ala Dr. Tan.
Bertahun-tahun saya hidup dengan junkfood. Saya bisa bilang saya snacksucker sejati. Saya makan makanan cepat saji, di kulkas selalu tersedia minuman berkarbonasi dan keripik adalah camilan favorit saat apapun. Hidup ala teh botol, apapun kegiatannya, makannya tetap keripik. Saya begitu mendewakan makanan ini. Karena selain praktis tentu saja enak. Dan saya yakin semua orang yang pernah mencicipi pasti mengakuinya. Jujur saja jika makanan ini tergolong makanan sehat tentu saya lebih memilih ini. Bahkan dulu saat saya tahu bahwa makanan ini bukanlah makanan yang layak dihidangkan di meja bertajuk sehat, saya tetap kalap membeli dan mengumpulkan dalam tubuh.
Akhirnya saya disadarkan oleh Tuhan. Ketika itu saya yang peminum kopi merasakan sakit luar biasa pada perut. Semakin hari semakin parah. Demam saya tinggi bahkan saya pernah akan pingsan sehabis makan. Dokter bilang maag saya sudah akut dan terinfeksi. Akhirnya selama tiga bulan saya harus menelan bubur dan obat-obatan yang saya sangat membencinya. Saya tak lagi boleh minum kopi, saya tak lagi bisa makan sayuran buah-buahan karena seratnya tinggi dan saya tak lagi bisa minum susu. Yang membuat tersiksa saya harus menghindari makanan pedas selama beberapa waktu.
Peringatan Tuhan tak sampai itu. Karena setelah sembuh saya masih bisa balas dendam. Setelah sekian lama puasa makanan enak, saya kembali ke kopi, junkfood dan makanan pedas. Kali ini yang terserang adalah usus buntu saya. Dalam daftar hasil check up yang saya sebenarnya tak paham arti bahasa-bahasa ajaib itu, mengatakan kalau darah putih saya meningkat yang artinya dalam tubuh ada infeksi. Usus mengalami endema atau pembengkakan. Dokter mendesak saya untuk operasi jika tidak lama-kelamaan nyawa saya menjadi taruhannya. Mengerikan.
Walau saya tidak menuruti kata-kata dokter dengan alasan takut operasi, tapi akhirnya saya kini taubat dan mengubah lifestyle. Tuhan memang tidak mencubit saya sekeras mencubit orang lain tapi cukup meninggalkan memar di hati hingga saya kapok. Saya banyak minum air putih, banyak mengkonsumsi sayur dan buah-buahan segar. Dan yang lebih penting saya antipati terhadap segala makanan junkfood. Sedikitpun saya tak pernah makan keripik dan teman-temannya. Saya tak pernah tertarik terhadap makanan olahan yang berwarna-warni. Saya juga menghindari daging merah. Minuman berkarbonasi saya ganti dengan plain water atau air putih. Kini saya bisa bilang saya sembuh. Gaya hidup kota yang pernah saya terapkan pada waktu lalu tercermin pada perut saya yang agak berlemak. Kini lemak di perut saya sudah mengambil jarak.
Intinya tak ada perbedaan orang kota dan orang desa. Saya yang selaku orang kotapun pernah bodoh dalam melangkah. Pandai-pandailah memilih dan mengolah makanan dengan tepat. Buatlah dapur sebagai tempat pertama yang akan melindungi keluarga dari serangan berbagai macam penyakit. Siapa yang lebih cermat dalam memilih makanan sehat dialah yang lebih cerdas. Gaya hidup desa dengan makan makanan alami kelak akan membuat kita bisa mengatakan “goodbye, doctor”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar