TENTANG TEMAN
Saya memiliki ‘komunitas’ baru. Komunitas ini tak pernah terbentuk, tak ada kesepakatan, tak ada penandatanganan MOU dan tak pernah dideklarasikan. Semua hanya bertindak sesuai keadaan. Tidak membedakan suku atau ras, pekerjaan, warna kulit, usia, lebar mata ataupun perbedaan bahasa. Roaming lokal sering terjadi saat kami ngobrol (karena salah satu tidak paham bahasanya). Semua itu tidak menjadikan hambatan melainkan semakin membuat cair suasana.
Pertemuan bukan sesuatu yang wajib apalagi direncanakan. Komunitas sayapun tidak bertemu setiap hari. Dua kali seminggu adalah pertemuan yang diwajibkan oleh suatu ‘tugas’, dan bukan keinginan masing-masing dari kami sama sekali. Secara logika pertemuan setiap hari akan menambah akrab. Tapi logika itu kami bungkus tisu dan kami masukkan ke tong sampah bersama-sama. Hukum dasar logika tak berlaku bagi kami. Karena saat pertama bertemupun, seperti sudah berteman lama sekali. Topik obrolan kami beragam, mulai dari dapur hingga daster.
Tanpa embel-embel, tanpa gelar, tanpa penghormatan, kami saling memanggil nama. Cukup nama saja. Tak ada ce, tak ada me, tak ada dik, tak ada mbak, tak ada bu, tak ada tante, tak ada jeng, tak ada semuanya. Tanpa peduli status apakah K1, K0 atau bujang. Tak peduli usia, tak peduli apapun. Status saya yang meningkat menjadi K1 tak membuat teman-teman ambil jarak. Keadaan itu ternyata semakin mengakrabkan kami. Dengan embel-embel hanya akan membuat orang seolah membawa travel bag besar tanpa roda atau mengalungkan papan nomor di dada. Bukankah saat di pintu kematian nanti malaikat tidak memanggil kita dengan gelar seperti bu atau pak. Anggap saja sebagai latihan kelak bertemu malaikat nantinya.
Bersama mereka saya tak perlu lagi menutupi kemarahan. Dan tak perlu tersenyum basa-basi jika maksud hati tak tersampaikan. Karena saya cukup mengungkapkan secara terbuka pada mereka. Jika perlu kami akan toyor-toyoran kepala kalau sebal. Bersama mereka saya tak perlu mengumpulkan alasan sungkan dan segan. Dan mereka juga berlaku sama. Persyaratannyapun hanya satu, yaitu cukup menjadi diri sendiri.
Itu sekelumit tentang komunitas baru saya. Kumpulan kecil dari perempuan-perempuan yang ingin sejenak melupakan penat. Satu jam saja melepaskan rutinitas pekerjaan dengan ngobrol semaunya dan tertawa sepuasnya. Satu yang ingin saya tegaskan di sini, saya merasa nyaman dengan mereka. Perasaan yang membuat saya merasa menjadi bagian utuh dari mereka.
Begitulah teman. Merekalah teman. Teman tak pernah memandang status dan tak peduli apakah single, double atau jumbo. Karena teman, saya mampu berubah dari seorang ugly duckling menjadi pretty swan. Dari nerd, cupu, lugu menjadi seorang yang supel. Teman mengusung keajaiban. Mereka membuat saya mengerti bahwa hidup itu bukan hanya tentang saya tapi juga tentang berbagi, memberi dan menolong.
Teman adalah hadiah terindah yang Tuhan ciptakan untuk kita. Yang nyawanya dihembuskan sang pencipta untuk menemani kita, untuk mengusir kesepian, dan sebagai pemberi kegembiraan. Seorang teman adalah seorang yang kita ingat pertama kali tawanya dan kita rekam terakhir kali tangisnya. Walau suatu saat mereka akan memaki-maki saya, menunjuk-nujuk hidung saya atau saya marah-marah pada mereka, pasti tak akan merubah keadaan bahwa kami adalah teman. Terimakasih sudah membuat saya diterima dan menjadi bagian dari kalian.
0 komentar:
Posting Komentar